Surat Cinta yang Tak Pernah Terkirim
Saat kutulis surat ini adalah saat dimana malam telah menjadi semakin tajam dalam pejam jiwa-jiwa yang terlelap di pelaminan mimpi. Dari balik daun pepohonan itu, kupandang bulan yang semakin manja di pangkuan sang awan. Bintang-bintang pun mulai pergi satu persatu dari punggung awan yang sejak tadi menjadi arena permainan mereka. Aku semakin tersudut di pojok sunyi jiwa ini. Jiwa yang telah lama tersiksa oleh sebilah rasa yang terasah oleh cinta. Ya, aku mencintaimu. Aku menyayangimu.
Tapi sayangku juga cintaku tak pernah bisa kusampaikan kepadamu. Tak pernah bisa kutulis dalam ucap untukmu. Cinta ini hanya bisa terlukis dalam gerak yang bergetar setiap kali berada di dekatmu. Cinta ini hanya mengalir dalam peluh keringat yang menetes saat kau tampar aku dengan tatapmu. Apalagi saat kau tersenyum kepadaku, maka aku benar-benar merasa tak sedang berpijak di bumi yang dipenuhi oleh gaya gravitasi ini. Tapi aku sedang melayang, terbang dan terlempar di punggung awan, bersama bintang, bersama bulan, bersamamu, dan senyummu. Aku tahu kau pun mencintaiku. Kau pun menyayangiku bahkan kau begitu perhatian kepadaku, hingga kau tak pernah lupa untuk mengusap kepalaku saat aku sedang lelah dalam mengejar dan dikejar oleh waktu. Kau selalu ada di sampingku untuk mengusap peluhku dan air mataku saat hidup membentakku karena tak mampu menyelesaikan tugas yang diberikannya. Kau selalu siap menjadi sayap bagiku saat aku ingin terbang menjaring mimpi, dan kau tak pernah mengharap apapun dariku sebagai sebuah balasan. Tapi semua itu berbeda dengan yang kurasakan. Kau mencintaiku sebagai seorang kawan. Kau menyayangiku sebagai seorang teman. Kau begitu perhatian kepadaku karena kau menganggap kita adalah sahabat. Sedang bagimu sahabat adalah segalanya. Tak dapat dinilai dengan materi. Bahkan kau pernah bilang kepadaku, bahwa sayang dan cinta seorang sahabat jauh lebih murni daripada sayang dan cinta seorang kekasih terhadap pujaannya. Maka aku kembali mengurungkan niatku untuk menyampaikan rasa ini kepadamu. Aku hanya tak ingin mengecewakaanmu.
Sebelum surat ini kuakhiri, aku ingin sampaikan kepadamu bahwa musim cinta akan segera tiba. Daun-daun kasih yang telah lama bersemi di pohon sayang akan segera berguguran untuk menyambut musim yang sebentar lagi akan disambut beribu-ribu atau bahkan berjuta-juta petani yang telah lama menunggu musim ini. Sebagian mereka akan memanen benih rindu yang telah lama mereka tanam dalam ladang kasih sayang dan sebagian lagi akan memulai untuk menyemai dan menanam benih kasih sayang yang mungkin belum sempat mereka tanam di musim kemarin.
Aku tahu kita tak akan pergi sebagai pasangan untuk merayakan musim cinta yang sebentar lagi akan tiba. Aku juga tahu, kau takkan pernah mengajakku dan aku pun takkan pernah berani untuk mengajakmu karena ternyata kau telah memilih jiwa yang selamanya akan menjadi sahabat untuk menemani hidupmu. Sahabat yang selamanya akan menjadi sayap bagi cintamu dan menyemai benih-benih masa depan di rahim kasihmu. Maka aku menulis surat ini, sekedar untuk mengatakan kepadamu bahwa rasa itu belum mati. Rasa itu masih hidup di hati tua ini. Ya, aku masih mencintaimu di atas putihnya uban yang tumbuh di usia tuaku kini karena aku akan sampaikan perasaan ini di kehidupan yang akan datang. Tunggulah aku sahabatku (kekasihku).
22 jan 2011